Memberi dan menerima bukanlah suatu tindakan yang asing.
Semua manusia akan dengan mudah mengatakan bahwa kedua tindakan tersebut
merupakan bagian integral dari aktivitas hidup manusia setiap hari, suatu aksi
yang sekian spontan sehingga tak perlu membuang banyak waktu untuk berpikir
tentangnya. Namun sesuatu yang amat biasa terkadang menuntut suatu pertimbangan
yang lebih layak.
Tindakan memberi dan menerima sudah dipelajari seseorang
sejak ia masih merupakan seorang bayi. Walau tanpa kesadaran, tindakan paling
awal yang dilakukan seorang bayi adalah “menerima. Sang bayi menerima dan
menghirup udara, ia menerima hidup dan situasi dunia yang sangat jauh berbeda
dengan situasi “firdaus” yang dialaminya ketika ia masih dalam rahim ibu.
Perbedaan kondisi hidup yang diterima sang bayi pada titik awal ini sering amat
menakutkan. Karena itu sang bayi lalu menangis. Ia membutuhkan sesautu, ia
membutuhkan perlindungan yang dengan segera diterimanya dari tindakan memberi
dari seorang ibu. Semua yang dialami bayi pada tahap awal ini akan sangat
berpengaruh bagi perkembangan hidupnya selanjutnya, bukan saja terbatas pada
aksi memberi dan menerima, tetapi juga secara luas dalam keseluruhan aktivitas
hidup sosialnya. Sang bayi belajar memberi dan menerima, dan menjadikannya
sebagai aktivitas spontan hidup hariannya.
Antara kedua tindakan tersebut sulitlah untuk dibuat
distinksi, sulitlah untuk dibuat prioritas tindakan manakah yang lebih penting
dan harus didahulukan. Ada sekian banyak konteks yang harus turut
dipertimbangkan untuk memberikan penekanan pada satu dari kedua aksi tersebut.
Dalam dunia psikoterapi, yang juga amat menuntut keterlibatan kedua tindakan
tersebut, “therapeutic acceptance” lebih banyak dipandang sebagai unsur penting
dalam sebuah proses penyembuhan, lebih dari pada berbagai “technological
medicine” lainnya. Kebanyakan klien yang mengalami goncangan psikologis melihat
hidupnya amat tidak bernilai. Carl Gustav Jung, seorang psikiater terkenal asal
Swiss, mengindikasikan bahwa sepertiga dari pasien yang datang kepadanya
menderita kehampaan makna hidup (the meaninglessness of life). Hal ini bertolak
dari ketidak-sanggupan klien untuk menemukan arti dari keberadaan dirinya
sendiri, yang mencakup keseluruhan aspek personalitasnya.
Dalam situasi seperti ini, tindakan “menerima” yang
diekspresikan sang psikiater akan melahirkan suatu pemahaman baru dalam diri
klien. Dia akan menyadari bahwa dirinya ternyata masih memiliki sesuatu, bahwa
ia masih memiliki kata-kata yang layak didengar, sekurang-kurangnya oleh
¡§dia¡¨ yang kini sedang berada di depannya. Adalah suatu kebahagiaan terbesar
dalam hidup untuk menyadari bahwa saya masih layak didengarkan, masih layak
diterima, masih layak dicintai dan mencintai. Dalam proses inilah si klien
perlahan-lahan menemukan arti dirinya, dan inilah awal dari suatu proses
penyembuhan.
Namun tindakan memberi dan menerima itu dapat pula dilihat
dari sudut pandang yang lain. Oral Roberts dalam bukunya “Miracle of
Seed-Faith” memberikan tekanan utama pada tindakan “memberi”. Tindakan memberi,
apapun bentuknya baik material maupun rohaniah seperti pemberian kemampuan
diri, bakat ataupun waktu bagi orang lain, ditempatkan Roberts sebagai
benih-benih yang tertabur, yang pada baliknya akan bertumbuh dan memberikan
panen yang berlimpah. Dalam Kitab Suci terdapat banyak kisah tentang hal ini.
Pemberian lima buah roti dan dua ekor ikan bagi banyak orang di padang gurun
ternyata menjadi benih iman untuk menghasilkan dua belas bakul roti. (Mat. 14,
13-21). Pemberian perahu oleh Simon Petrus untuk digunakan Yesus mengajar orang
banyak tentang kabar gembira Kerajaan Allah, ternyata menjadi benih iman untuk
menghasilkan banyak ikan. (Luk. 5, 1-11).
Di sini Oral Roberts menunjukkan bahwa tindakan kita untuk
memberi tidak pernah berlangsung sia-sia, tetapi bahwa dalam tindakan tersebut
baik si penerima maupun si pemberi sama-sama menerima “sesuatu”. Bahkan si
pemberi menerimanya kembali dalam jumlah yang telah dipergandakan. Namun hal
ini tidak dimaksudkan untuk memperkokoh paham jkuno “do ut des”, memberi untuk
menerima kembali (saya memberi agar engkaupun memberi). Tetapi inilah kebenaran
yang ditawarkan oleh Yesus sendiri, “Berilah maka kamu akan diberi.” (Luk 6,
38). Dan bahwa si pemberi akan menerima kembali sesuai ukuran yang dipakai
dalam memberi kepada orang lain.
Begitulah... Sesuatu yang kita berikan akan diterima
kembali. Yang terpenting adalah bahwa pemberian tersebut terjadi dalam konteks
“benih iman” yang tertabur, yang menuntut keyakinan kita untuk menempatkan
Allah sebagai pusat segalanya, yang akan mempergandakan pemberian itu dan
melimpahkannya kembali kepada si pemberi dalam bentuk dan sarana yang tak
dipahami manusia. Kita bersatu bersama Petrus yang bertanya kepada Yesus bahwa
ia telah memberikan segala sesuatu tetapi apa upah yang akan diperoleh?? Yesus
menjawab “...kamu akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh
hidup yang kekal.” (Mat. 19, 29).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar